Jalaluddin Muhammad Akbar,adalah raja ke-3 Dinasti Mughal di
India.Ia adalah anak dari pasangan Humayun & Hamida Banu Begum.
Masa pemerintahan Akbar bisa dikatakan sebagai masa keemasan
Dinasti Mughal. Pada masa ini terjadi perluasan wilayah hingga ke Chundar,
Ghond, Chitor, Rantabar, Surat, Behar, Bengal, Kashmir, Orissa, Deccan,
Gawilghard, Narhala, Alamghar, dan Asirghar. Pemerintahannya bercorak militer.
Bahkan pejabat sipilpun diberi pangkat militer. Pemerintah daerah dipegang oleh
seorang shipar jalar jenderal atau kepala komandan dan
sub-distrik oleh fauj dar (komandan).[3]
Hal yang menarik diikuti adalah perubahan orientasi pemikiran
dan praktek kekuasaan Akbar yang terkait dengan agama. Pada masa awal
kekuasaannya, Akbar adalah seorang Muslim ortodoks yang takwa. Dia menunaikan
shalat lima waktu dalam berjamaah, sering melakukan azan, dan kadangkala dia
sendiri yang membersihkan masjid. Dia sangat menghormati Makhdum-ul Mulk dan
Syekh Abdul Nabi, dua orang pejabat agama di istana. Bahkan dia menyerahkan
putranya, Pangeran Salim yang kelak akan menggantikannya dengan gelar Jahangir,
kepada Syekh Abdul Nabi untuk dididik. Bukti lainnya adalah penghormatan Akbar
kepada Khwaja Muinuddin, seorang sufi besar aliran Chistiyyah yang makamnya di
Ajmer merupakan objek penghormatan masyarakat. Akbar rutin mengunjungi makam
tersebut.[4]
Akbar kemudian
membangun ibadat khana, rumah ibadah yang digunakan untuk diskusi
agama. Tapi justru dari ibadat khanainilah kekecewaan Akbar
terhadap para ulama ortodoks bermula. Akbar kerap melihat perdebatan di antara
para ulama yang saling memojokkan. Masing-masing menganggap pendapatnyalah yang
paling benar. Perdebatan ini juga melibatkan dua pejabat keagamaan istana, yaitu
Makhdum-ul Mulk dan Syekh Abdul Nabi. Keduanya kerap terlibat perdebatan keras
seputar masalah-masalah agama. Kekecewaan Akbar memuncak terutama setelah Syekh
Abdul Nabi sebagai sadr-ul sudur menjatuhkan hukuman mati
kepada seorang Brahmana yang didakwa mengambil material untuk membangun masjid
dan mencaci Nabi Muhammad SAW. Akbar dan juga sebagian besar pejabat istana
mengkritik vonis tersebut dan menganggapnya terlalu berat.
Kekuasaan Akbar dalam memutuskan hal-hal yang terkait dengan
agama memang terbatas. Kekuasaan tersebut ada di tangan sadr-ul sudur.
Hal ini makin membuat Akbar gerah sehingga dia bercerita kepada Syekh Mubarak,
seorang ulama berpikiran bebas yang juga ayah dari Abu Fazl, seorang penulis
dan pejabat istana. Lalu Syekh Mubarak menyampaikan bahwa menurut undang-undang
Islam, jika ada pertikaian pendapat antara ahli hukum, maka kepala pemerintahan
berhak memilih salah satu pendapat.[5] Lebih jauh, Syekh Mubarak
menyusun sebuah dokumen yang intinya pernyataan dukungan para ulama kepada
Akbar untuk mengambil keputusan dalam bidang agama asal demi kepentingan bangsa
dan sesuai beberapa ayat dalam Al-quran.[6]
Dokumen ini kemudian
menjadi faktor utama Akbar memproklamirkan diri sebagai Imam Adil yang berhak
memutus semua perkara termasuk soal agama. Sayangnya Akbar melupakan dua
syarat, yakni demi kepentingan bangsa dan sesuai beberapa ayat dalam Al-quran,
yang tercantum dalam dokumen tersebut. Ibadat khana kemudian
tidak hanya dihadiri oleh ulama-ulama Islam tetapi juga pemuka agama Hindu,
Syikh, bahkan misionaris Kristen dari Goa. Kebijakan Akbar menjadi sangat
toleran, bahkan dalam beberapa hal menyudutkan kaum Muslim. Akbar memberlakukan
semua warga negara sama tanpa dipandang agamanya. Jizyah atau
pajak perlindungan bagi non-Muslim pun dihapuskan. Beberapa kebijakan lain dari
Akbar adalah:
- Memberikan pelayanan dan pendidikan yang sama bagi masyarakat.
- Membentuk undang-undang perkawinan baru yang melarang kawin muda, poligami, dan menggalakkan kawin campur antaragama.
- Menghapuskan pajak pertanian terutama bagi petani miskin.
- Menghapuskan tradisi perbudakan yang dihasilkan dari tawanan perang dan mengatur khitanan anak-anak.[7]
- Percaya pada keesaan Tuhan.
- Akbar sebagai khalifah Tuhan dan seorang padash (insan kamil) sehingga terhindar dari kesalahan.
- Semua pemimpin agama harus tunduk dan sujud kepada Akbar.
- Sebagai manusia padash, ia pantang makan daging.
- Menghormati api dan matahari sebagai simbol kehidupan.
- Hari Ahad sebagai hari resmi ibadah.
- ‘Assalamu alaikum’ diganti ‘Allahu Akbar’ dan alaikum salam diganti ‘Jalla jalalah’.[9]
Pada perkembangan berikutnya, Akbar membuat sebuah perkumpulan
yang disebut Din-i-Illahi yang artinya kurang lebih Agama
Ketuhanan. Nama ini menurut versi Badauni. Sementara menurut Abu Fazl,
perkumpulan ini bernama Tauhid Illahi yang artinya kurang
lebih ketuhanan Yang Maha Esa.[8] Ciri-ciri penting perkumpulan ini
adalah:
Kaum ulama ortodoks bereaksi keras terhadap kebijakan Akbar,
terutama terkait dengan perkumpulan Din-i-Illahi yang
dibuatnya. Beberapa pemberontakan, yakni Bihar, Benggala, dan Kabul antara lain
juga dipicu oleh hal ini.[10] Beberapa penulis/sejarawan,
seperti Badauni dan Smith, kemudian menganggap bahwa Akbar telah keluar dari
agama Islam dan mendirikan agama baru, yakni Din-i-Illahi. Namun
beberapa sejarawan menyampaikan bahwa Akbar masih Muslim berdasarkan kesaksian
dari Abu Fazl, Jahangir, dan Monseratte, seorang misionaris Kristen yang
berupaya mengkonversi Akbar. Adapun tentang Din-i-Illahi, menurut
Umar Asasuddin Sokah, hanya merupakan upaya Akbar untuk menyatukan umat
berbagai agama di wilayah kekuasaannya. Lebih jauh, Sokah menganalogikan Din-i-Illahi seperti
pancasila di negeri ini.[11]
Bagaimanapun, meski
dibarengi tindakan kontroversial yang dilakukannya, Akbar telah berhasil
menyatukan wilayah India yang begitu luas di bawah kekuasaannya.
Pemerintahannya yang stabil memungkinkan kemajuan Mughal dalam berbagai bidang,
antara lain menjadi pengekspor hasil pertanian ke berbagai negara. Stabilitas
ini juga menjadi modal berharga bagi para penerusnya untuk mencapai kemajuan.
Akbar menderita sakit parah dan meninggal dunia pada tahun 1605. Dia mewariskan
wilayah kekuasaan yang luas kepada Pangeran Salim atau Jahangir anaknya.
0 komentar:
Posting Komentar