Sumber : http://felixsiauw.com/home/ghazwul-fikri-imperialisme-barat-dan-khilafah-islam/
Bagi kaum Muslim, konsep nasionalisme sebagai pemersatu antarmanusia sebenarnya konsep yang baru karena baru diperkenalkan kurang dari 100 tahun yang lalu. Karena sebelumnya kaum Muslim hanya mengenal konsep ukhuwah Islam, yaitu ikatan yang muncul dari aqidah yang sama diantara kaum Muslim
Dengan ikatan ukhuwah yang lahir dari aqidah ini Islam menyatukan baik etnis, bahasa, bangsa, kelompok. Kesemuanya semua diikat oleh Islam tanpa melihat lagi perbedaan pada manusia, karena sudah sama aqidahnya. Dalam konsep ukhuwah Islamiyyah, tidak ada kaum yang dianggap lebih mulia dari yang lain, apakah dia Arab atau Ajam (selain Arab), maka semua sama dihadapan Allah, yang membedakan hanya ukuran takwanya.
Sebagaimana hadits Rasulullah,
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, bapak kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam, tidak pula orang Ajam atas orang Arab, atau orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih; kecuali karena ketakwaannya.”
(HR Ahmad)
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Rabb kalian satu, bapak kalian juga satu. Sesungguhnya tidak ada kelebihan pada orang Arab atas orang Ajam, tidak pula orang Ajam atas orang Arab, atau orang berkulit putih atas orang berkulit hitam, tidak pula orang berkulit hitam atas orang berkulit putih; kecuali karena ketakwaannya.”
(HR Ahmad)
Berbeda dengan konsep nasionalisme yang muncul dari ikatan persamaan ancaman dan persamaan tempat hidup. Munculnya ikatan nasionalisme ini didasarkan atas kekauman dan kebangsaan, dan ikatannya biasanya disatukan oleh kesamaan etnis, bahasa atau bangsa. Maka sentimen kesamaan nasib adalah yang paling menonjol, begitu pula dengan kesamaan tempat tinggal, kesamaan asal, kesamaan bentuk fisik dan lain-lainnya. Karenanya banyak konflik muncul karena nasionalisme ini padahal agamanya sama, bahkan etnis dan bangsanya sama. Begitulah yang kita lihat pada Indonesia-Malaysia, Indonesia-Timor Timur dan perpecahan yang terjadi pada negara-negara Arab saat ini yang notabene atas nama nasionalisme dan kekauman
Dalam Islam, ikatan-ikatan selain aqidah Islam, yang dimuliakan lebih daripada aqidah Islam adalah ashabiyah (fanatisme) jahiliyyah.
Rasulullah bersabda, “Bukan dari golongan kami siapa saja yang mengajak kepada ashabiyah, bukan pula dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyah, dan tidak juga termasuk golongan kami orang yang mati karena ashabiyah” (HR Abu Dawud)
Mengomentari hadits ini, Dr. Yusuf Qardhawi menulis dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Tidak ada keistimewaan khusus karena warna kulit, karena jenis dan karena tanah air. Dan tidak halal seorang muslim merasa fanatik (ta’asshub) karena warna kulitnya melebihi kulit orang lain, karena golongannya melebihi golongan lain dan karena daerahnya melebihi daerah orang lain. Dan tidak halal pula seorang muslim membela golongannya karena ta’asshub baik dalam kebenaran, kebatilan, keadilan dan kecongkakan”
Dr. Yusuf Qardhawi menyimpulkan setelah pembahasan beberapa hadits yang senada dalam kitabnya “Halal dan Haram dalam Islam”
“Dari sini kita dapat mengetahui, bahwa setiap anjuran di kalangan kaum muslimin kepada fanatik daerah seperti ajakan untuk fanatik chauvinisme, atau ajakan untuk fanatik kepada golongan sentris seperti nasionalisme, adalah propaganda jahiliah yang samasekali tidak diakui oleh Islam, oleh Rasulullah dan oleh Al-Quran”
Sangat jauh berbeda nasionalisme dengan ikatan ukhwah Islam yang lahir dari aqidah, yang dulu pernah menyatukan ratusan juta kaum Muslim dalam 1 kekuatan kepemimpinan; Khilafah. Selama 1300 tahun semenjak dimulai Rasulullah di Madinah, ukhuwah Islam telah sukses menjadikan ummat satu tubuh, satu pemikiran dan satu perasaan yaitu Islam. Dengan ukhuwah Islam mereka bersatu karena sama-sama menyembah pada Tuhan yang satu, membaca kitab yang satu, meneladani Muhammad yang satu, shalat menghadap kiblat yang satu, bersatu dalam satu kepemimpinan dengan pemimpin yang satu.
Lalu bagaimana kaum Muslim yang awalnya disatukan ukhuwah atas aqidah dalam satu kepemimpinan Khilafah lalu terpecah jadi lebih 58 negara (nations) layaknya sekarang?
Semua dimulai pada 1683 saat Khilafah Utsmani menderita kekalahan di gerbang Vienna-Austria, kekalahan itu menandai jihad yang terakhir yang dilancarkan oleh kaum Muslim sekaligus sebagai simbol daripada akhir masa-masa kejayaan kaum Muslim di dunia, dan selanjutnya memasuki babak baru yaitu keruntuhannya.
Puncak masa keemasan Islam dimulai sejak masa Sultan Muhammad Al-Fatih yang ditandai dengan penaklukkan Konstantinopel pada 1453, sampai pada masa pemerintahan Khalifah Sulaiman Al-Qanuni yang membawa kekuasaan Khilafah Utsmaniyyah sampai pada luasan yang paling besar pada 1566. Adapun kaum Muslim yang memimpin setelahnya kurang memperhatikan Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah dan lebih tergiur pada nikmatnya dunia hingga melupakan tujuan hidup mereka yaitu mengabdi pada Allah, dan lebih suka harta dan kemewahan yang berlimpah.
Kelemahan internal itu pun diikuti serangan eksternal. Di sebelah Barat Khilafah Utsmani, bangsa Eropa yang mulai bangkit pemikirannya pasca Rennaisance meninggalkan abad gelap dan melancarkan perang babak baru kepada kaum Muslim dengan serangan pemikiran (ghazwul fikri) dan di sebelah Timur, Kerajaan Rusia menjajah wilayah Utara Khilafah yang berdekatan dengan Laut Hitam dengan serangan fisik dan menaklukkan sebagian besar wilayah-wilayah kaum Muslim.
Inti daripada perang pemikiran kaum Eropa yang dikepalai Inggris pada masanya bukanlah ingin memurtadkan kaum Muslim, tapi bertujuan agar kaum Muslim tetap berada dalam agamanya, namun dengan isi kepala yang berbeda, dengan pemikiran yangjauh dengan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Karenanya mereka menyebarkan pemikiran semisal nasionalisme dan demokrasi, untuk menggantikan ukhuwah Islam dan aqidahnya.
Dengan itu Inggris berhasil menguasai Mesir pada 1888 dan India pada 1857. Sementara lewat perang fisik, Rusia juga membantu Bulgaria, Rumania, Serbia dan Montenegro memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah, juga dengan menyuntikkan pemikiran semisal nasionalisme, hingga rakyat-rakyatnya menuntut pemisahan diri dari Khilafah.
Begitulah wilayah Khilafah Islam Utsmaniyyah menyusut secara drastis, karena secara internal Islam ditinggalkan dan diserang secara eksternal
Keadaan semakin parah saat di internal Khilafah sendiri, gerakan-gerakan nasionalis-liberalis-sekuler pun bermunculan. Dimulai dari sekolah-sekolah misionaris di Libanon dan juga cendekiawan-cendekiawan muda yang mulai silau dengan kemajuan Barat, gerakan ini berubah menjadi Revolusi “Young Turk” pada 1908
Gerakan “Young Turk” ini sesungguhnya tak lain adalah gerakan Freemasonry yang di-inisiasi di loji-loji Freemason di Italia dan Yunani, mendapatkan dukungan penuh dari Inggris dan Prancis, lalu menggulingkan Khalifah terakhir, Sultan Abdul Hamid II pada 1908. Gerakan sekulerisasi Khilafah Utsmani pun dimulai segera, “Young Turk” bekerjasama dengan majikannya Inggris untuk memulai rencana guna mengakhiri Khilafah. Utsmani
Pada 1914-1918 pecah Perang Dunia I. Inggris, Prancis dan Rusia menyatu sebagai Blok Sekutu melawan Blok Sentral yang disusun oleh Jerman, Austria dan Hungaria. Awalnya Khilafah Utsmani tak berniat ikut perang dan tetap netral, namun wilayahnya yang berada ditengah-tengah konflik antarnegara itu tak memungkinkan Khilafah Utsmani untuk tetap netral.
Setelah ditolak bergabung bersama Blok Sekutu, Khilafah Utsmani bergabung dengan Blok Sentral, dari sini tampak upaya konspirasi untuk meniadakan Utsmani dengan cara menjebak Khilafah agar turut serta dalam Perang Dunia I, padahal keadaan Khilafah Utsmani sedang dalam kondisi yang sangat lemah secara internal maupun eksternal, dengan hutang yang banyak, teknologi tertinggal dan banyak intrik politik.
Sebagai bagian dari pelaksanaan perang, Inggris yang sangat bernafsu menguasai dunia saat itu memulai menyusup ke negeri-negeri Muslim untuk memisahkannya dari Utsmani. Hasilnya, Syarif (Gubernur) Makkah Hussein bin Ali berkenan untuk mengadakan perjanjian dengan Inggris untuk memisahkan diri dari Khilafah Utsmaniyyah.
Selepas mendapatkan doktrin Barat tentang Nasionalisme dan dibakar semangat kekauman Arab, seolah-olah betapa mulia kaum Arab bila dibandingkan kaum Turki yang menjadi Khalifah. Hussein bin Ali menjanjikan akan memimpin pemberontakan terhadap Khilafah Utsmani sementara Inggris memasok senjata-senjata dan menjanjikan kemerdekaan negara Arab seusai Perang Dunia I. Inggris menjanjikan wilayah Arab-Iraq-Syam kepada Hussein bin Ali. Perjanjian mereka terkenal dengan korenspondensi “Hussein-McMahon”
Pemberontakan Hussein bin Ali dimulai pada 1916 atas bantuan Inggris mulai dari antuan senjata, informasi sampai informan “Lawrence of Arabia” yang ditugaskan mendampingi Hussein bin Ali. Inggris juga membekali bendera “Revolusi Arab” yang menjadi simbol ashabiyah (fanatisme) kepada pasukan-pasukan pemberontak ini. Pada gilirannya, bendera ini pula yang akan digunakan oleh negara-negara Arab di Timur Tengah pasca runtuhnya Khilafah Islam.
Khilafah Utsmani kewalahan menghadapi serangan luar dan dalam ini. Selama 1917-1918 Yerusalem dan Baghdad direbut Inggris, sementara Amman dan Damaskus direbut pasukan Revolusi Arab dibawah pimpinan Hussein bin Ali. Perang Dunia I ini pun diakhiri pada 1918 dengan kekalahan Blok Sentral, dan Khilafah Utsmani-lah yang paling menderita kerugian akibat perang ini, iapun dikuasai Inggris dan Perancis sebagai pemenang
Pengkhianat memang tak mendapat selain pengkhianatan. Seusai Perang Dunia I, Inggris pun mengkhianati perjanjiannya dengan Hussein bin Ali dengan perjanjian baru yang dibuat dengan sekutunya Prancis. Lewat perjanjian Sykes-Picot pada 1917, Inggris dan Perancis punya rencana sendiri membagi tanah Khilafah kaum Muslim. Dalam perjanjian ini Inggris mendapat Iraq, Kuwait dan Yordan, sementara Prancis mendapat Suriah, Libanon dan Turki Selatan. Sedangkan wilayah Palestina dan Gaza ditangguhkan Inggris dan Prancis, untuk diberikan pada Zionis Yahudi lewat Deklarasi Balfour yang disepakai Ratu Elizabeth di tahun 1917
Begitulah kemudian Inggris dan Perancis menaklukkan Khilafah Islam lalu membagi-baginya menjadi negara kecil yang terpisah-pisah. Inggris lalu mengajarkan nasionalisme dan memerdekakan Arab. Inggris memberikan wilyah Iraq dan Syria kepada Raja Faisal keturunan dari Hussein bin Ali, dan wilayah Yordan diberikan pada Raja Abdullah atas jasanya memihak pada Inggris
Lewat tangan agennya yang berketurunan yahudi, Mustafa Kemal, Inggris mengakhiri Khilafah dengan menjadikan Mustafa Kemal pahlawan Turki, yang berujung pada penghapusan Khilafah Islam pada 1923. Saat itu tidak ada lagi naungan dan pelindung bagi kaum Muslim diseluruh dunia.
Selanjutnya, setalah memastikan pemerintahan di negeri-negeri Muslim agar berdasarkan sekulerisme dan liberalisme, satu demi satu wilayah Islam dimerdekakan khususnya pasca Perang Dunia II. Mesir pada 1922, Iraq pada 1932, Libanon pada 1943, Pakistan pada 1947, Suriah pada 1946, India pada 1947 dan menyusul wilayah-wilayah Islam lainnya.
Wilayah yang dahulunya satu Khilafah Islam, terpecah belah menjadi 58 negara kecil, dan masing-masing bangga pada dirinya sendiri. Selepas Khilafah dibubarkan, tiada pula perlindungan bagi kaum Muslim, misalnya saat 1948 negara Israel didirikan oleh PBB dan US, dan sampai sekarang melakukan pembantaian-pembantaian tak beradab terhadap saudara kita di tanah Palestina. Sejak Khilafaj itu sirna, pembantaian nyawa, perusakan pemikiran dan aqidah, semua masuk tanpa terbendung kecuali oleh kelompok kecil dan individu.
Begitulah Allah dan Rasul mewajibkan pada seluruh kaum Muslim seorang pemimpin yang menerapkan Islam dan membela urusan mereka. Sabda Nabi saw berkaitan dengan ini,
“Imam (Khalifah) layaknya perisai, di belakangnya umat berperang, dan kepadanya umat berlindung” (HR Muslim)
Imam yang dimaksud bukan pemimpin sekelompok Muslim, tapi pemimpin seluruh Muslim yang menerapkan Islam, bukan yang lain. Yaitu Imam yang menyatukan seluruh Muslim atas dasar aqidah bukan nasionalisme dan menerapkan Al-Qur’an dan As-Sunnah pada mereka
Amirul Mukminin Khalifah Umar Bin Khaththab ra berkata, “Tidak ada Islam tanpa persatuan, tiada persatuan tanpa kepemimpinan, dan tiada kepemimpinan tanpa ketaatan”
Karena bila pemimpin tidak menerapkan apa yang diperintah Allah, maka kita akan melihat dia pasti akan mengabaikan urusan ummat dan agama Islam. Karena itulah pemimpin yang amanah memang mutlak harus ada dalam Islam namun dia haruslah menerapkan sistem kepemimpinan yang amanah. Karena hanya dengan sistem amanah yaitu Khilafah maka ummat akan dipersatukan dan hanya dengan ukhuwah yang lahir dari akidah kita memiliki kekuatan
0 komentar:
Posting Komentar